Jejak Kaki Nadia (Cerpen)
Saat hari menyapa malam, keheningan tiba-tiba saja
datang. Hening yang hanya ditemani siulan jangkrik-jangkrik saling bersautan.
Sang rembulan pun hanya bisa terdiam pilu melihat sosok gadis cantik tak
berambut ini terbaring kaku di atas tempat tidur bertahun-tahun lamanya. Namanya
Fathimah Shanum Nadia, panggil saja Nadia. Di usia yang masih 19 tahun, harus
merasakan sakit luar biasa. Seluruh tubuh harus berpasrah lunglai, sedikit pun
tak bisa digerakkan. Hanya tersisa air
mata yang masih bisa mengalir di kedua pipi. Lagi dan lagi, kursi roda
menjadi sahabat sejati dalam setiap
perjalanan langkah kakinya.
”Ma, Nadia mau keluar kamar. Nadia
bosan,” lirihnya dengan suara serak sambil menahan tangis. Lalu dengan sendup,
ia menatap wajah ibunda yang masih setia duduk di sampingnya. Terlihat jelas
raut wajah yang ternyata sudah mulai menua dan pasi. Tak ada harapan yang lebih
besar baginya saat ini, selain melihat kedua orang tua hidup bahagia. Sambil terus
menatap, gadis bertubuh hanya bertulang ini terus menghitung hari menanti ajal
yang entah diketahui kapan datangnya.
“Sayang, sekarang sudah malam. Kamu
tidur aja, ya!” suara itu lantas membuat Nadia terkejut dan mengalihkan
pandangannya ke arah pintu kamar yang mungil. Ternyata, sang ayah sudah berdiri
lama di sana. Namanya Joko, Joko Haryanto. Biasa orang-orang sekitar
memanggilnya pak Joko. Saat itu, ia masih mengenakan baju seragam kantor yang
menandakannya baru pulang bekerja. Bekerja lembur larut malam adalah pilihan
tepat saat ini agar bisa terus mengobati penyakit ganas yang terus menyerang putri
kesayangannya. Sambil menahan letih, perlahan langkah kaki lelaki tua berusia
45 tahun itu mendekat ke arah anak bellianya yang masih saja berbaring. Sambil mengecup
keningnya perlahan, air mata beningnya tiba-tiba jatuh membasahi kening Nadia.
Saat itu bulan sudah semakin meninggi, angin
malam pun sudah semakin kencang. Tapi tetap saja Nadia tidak bisa tidur, kedua
matanya sulit untuk dipejamkan. Rasanya memang ada beribu hal pahit yang terus
mengitari pikiran gadis mungil ini. Entah harus dijelaskan seperti apa, Penyakit
yang menyerangnya tak bisa jua disembuhkan. Padahal sudah berulang kali berobat
ke rumah sakit dan pengobatan alternatif lainnya, namun hasilnya nihil. Penyakit
kanker tulang semakin meningkat ke stadium 4. Sel kankernya pun terus merambat
ke seluruh tubuh. Tentu saja hal ini membuat tubuh permatanya tak lagi bisa
beraktivitas normal. Jangankan berjalan, menggerakkan jemarinya saja mustahil.
Detik demi detik mulai berjalan,
jarum jam pun terus berputar. Nampaknya Nadia sudah terlarut dalam mimpi yang
indah. Tak lama kemudian, ibu dan ayah segera melangkah jauh meninggalkan kamar
sang putri dengan masih menyimpan sejuta pilu. Begini memang keseharian mereka,
melihat kondisi anak semata wayang yang tersipu pasrah menerima takdir. Takdir
yang tak pernah dipikirkan akan terjadi saat ini.
”Ayah, ini pakaian ganti dan
handuknya. Kamu mandi dulu sambil aku buatkan kopi dan nasi goreng,” ucap
istrinya sambil menjulurkan pakaian ganti dan handuk biru dengan senyuman
manis. “Terima kasih banyak, Sayang.” Lantas langsung mendaratkan kecupan mesra
ke kening istrinya.
Nama istrinya Aisyah Shanum. Tapi pak
Joko suaminya, selalu memanggil dengan sebutan dek Aisyah. Sedangkan Aisyah
sang istri selalu memanggilnya mas Joko. Mereka memang hidup sederhana, bahkan
sangat sederhana. Maklum saja, seluruh penghasilan habis untuk biaya pengobatan
putri berliannya, Nadia. Tapi, mereka tak pernah mengeluh. Selalu menghadapi
dengan sejuta senyuman. Kesedihan yang tak pernah mereka tampakkan di depan
banyak orang, membuatnya selalu dibuat haru oleh warga sekitar. Sebab mereka
yakin, bahwa semua adalah titipan Tuhan. Termasuk Nadia, harta yang paling
berharga.
“Mas, ini nasi gorengnya. Maaf ya
Mas, uangnya sudah habis, jadi aku gak bisa beli lauk pauk lagi hari ini. Karena
kemarin itu jadwal Nadia untuk kemoterapi, jadi uangnya habis untuk biaya pengobatan
dan ongkos ke rumah sakit,” ucapnya lembut dengan penuh nanar seraya menaruh
nasi goreng ke meja makan. Mas Joko sudah sedaritadi menanti hidangan makan
malamnya tersaji.
“tidak apa-apa, Dek. Ini saja sudah
lebih dari cukup. Dan maaf ya, aku gak bisa kasih uang lagi hari ini. Aku juga
bingung harus pinjam ke siapa lagi. Utang kita sudah menumpuk, Dek.” Jawabnya lagi
dengan nada yang sedikit merendah. “Ayo, kita makan, Dek!”, sambungnya lagi.
Setelah 30 menit lamanya mereka
berbincang tentang pengobatan Nadia, Mas Joko menyuruh istrinya untuk melihat
kondisi Nadia saat ini. Takut ada seekor nyamuk yang jahat menggigit katanya. Dengan
senyuman manisnya, akhirnya ia bergegas jalan menuju kamar putri cantiknya.
“Mas Joko!!!” teriak Aisyah dengan
nada yang tertinggi. Dengan kepanikan yang luar biasa, Mas Joko pun segera
berlari menuju tempat istrinya berdiri sekarang. Nanar, begitu nanar. Tangis mereka
mulai terpecah. Keletihan mereka pun mulai terasa. Hancur rasanya melihat
segala perjuangan terhenti sia-sia. Tubuh mereka rasanya lemas, seperti tak
bertulang, lunglai. Tak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi.
Memang takdir Tuhan tidak ada yang
bisa mengelak. Senin, 21 September 2018 menjadi hari terpahit mereka saat ini.
Ya, mereka harus dihadapkan dengan keadaan seluruh tubuh putrinya terbujur kaku
membiru. Sekarang tak ada lagi suara. Tak ada lagi jeritan. Tak ada lagi
teriakan. Yang ada hanya air mata dan dentihan pilu bagi sang ayah dan ibu. Mereka
harus menerima dengan ikhlas, bahwa Fathimah Shanum Nadia sudah tidak lagi ada.
Nafasnya harus terhenti untuk selama-lamanya. “Selamat tinggal anakku, semoga
kamu bahagia di syurga-Nya,” doa mereka lirih sambil memeluk tubuhnya yang tak
bernyawa.
Teringat kisah seseorang yang struggling dan survive melawan penyakitnya . Semangat Desy 😊
BalasHapusVeritanya bikin terharu, mengingatkan kisah sepupu saya yg anaknya juga meninggal karena kanker. Tetap tabah dan semangat yah orang tua dan anak-anak yang sedang berjuang diluar sana
BalasHapusSetiap kali bersua dengan mereka yang berjuang melawan penyakit ini, saya tak pernah kehabisan rasa salut atas perjuangan yang mereka hadapi.
BalasHapusMungkin itu yang terbaik bagi Nadia dan kedua orang tuanya
BalasHapusTak ada lagi rasa sakit dan akan bahagia di sisi-Nya
Nice story kak..
BalasHapusJadi teringat kisah tanteku yang berjuang melawan kanker payudara, dan akhirnya meninggal percis seperti kisah Nadia..
Kehilangan buah hati seperti kehilangan separuh hidup, masa depan dan segala harapan. Tapi mereka adalah titipan yang Kuasa..Perjuangan Fathimah dan orang tua sudah selesai..Fatimah telah kembali dalam pelukan hangat sang Khalik
BalasHapusKanker, salah satu penyakit yang memang sulit disembuhkan. Segala upaya sudah dilakukan, tapi tetap harus menerima kenyataan yang pahit. Hal yang sama pernah terjadi pada salah satu famili saya.
BalasHapusWalaupun sudah sering mendengar perjuangan hidup pengidap kanker, tetap saja terharu membaca cerita kak Desy. Saat ini saya sedang mendampingi beberapa diantara mereka. Dan g harus siap dengan akhir ceritanya, walaupun di depan mereka saya selalu menunjuk kan Optimisme
BalasHapusSedih, tapi mungkin itu yang terbaik untuk Nadia dan kedua orangtuanya.
BalasHapusCerpen yang membuat aku sedih sore-sore gini :(
Ceritanya menyedihkan. Tapi tadi aku sempat berharap ada konflik lain sebelum akhirnya si tokoh utama meninggal, selain kondisi dia yang memang sudah sakit. Heheheh..
BalasHapusKenal Desy dari zaman Wifi Jakarta kelihatan sekali progress menulisnya. Tema cerpennya bagus, Des. Itu tab tiap paragraf terlalu menjorok ke dalam,
BalasHapusCerita yang luar biasa. Kecintaan orang tua terhadap anaknya memang mengalahkan apapun. Meskipun tahu betapa sulitnya mendampingi anak yang memiliki penyakit "serius", tetapi itu lah orang tua. Selalu mengupayakan yang terbaik buat kesembuhan anaknya
BalasHapusMungkin kalau nama suaminya bukan Joko lbh baik ya hehee... Nama anak dan istrinya sudah oke
BalasHapusAhhh tulisannya bagusss.. Yang nulis siapa, yang baca berasa jadi penulisnya. Bisa merasakan apa yang diceritakannya.. Ajarin boleh dongg..
BalasHapusBegitulah orang g tua selalu berjuang melakukan apapun demi anaknya. Hiks
BalasHapusCeritanya bagus, tetapi kurang panjang. hehe
BalasHapusSelalu terharu kalau menyimak kisah tentang seseorang yang berjuang melawan penyakit. Semoga kita semua sehat selalu.
BalasHapusTulisannya bagus kak,
BalasHapusCeritanya mengharukan. Anak sematawayang kemudian sakit dan meninggal, ga tau lagi deh apa yg dirasakan ortunya .
BalasHapusDuhh sedih bgt ceritanya :( . Keren ka cerpennya
BalasHapusLiar biasa perjuangan hidupnya. Semoga kita bersyukur atas nikmat sehat yang diberikan Allah. Dan selalu menjaga kesehatan.
BalasHapusNice story dan aku sedih baca ceritnya huhuhu.
BalasHapusDaaaaan aku terhanyuuuut. Bagus banget cerpennya.
BalasHapusTetiba selesai baca ini, dada langsung sesak dan mata berkaca-kaca. Paling ga bisa deh saya baca yang beginian, jadi mbrebes iki ☹
BalasHapusKereen cerpennya.. seruuu kak... tambahin ilustrasi biar tambh keren maak
BalasHapuskeren kak menginspirasi jadi tambah bersyukur sayaaa hehe
BalasHapusSedih sekali. Apalagi anak kecil yang harus mengalaminya. Tadinya aktif terus tiba2 kesakitan.
BalasHapusBtw kak cara penulisannya udah bagus banget tapi konfliknya kurang gimanaa gitu. Kayak tiba2 udahan aja. Heheh.. Keep writing ya kak. Keren bisa bikin cerpen. Akutuh paling susah bikin cerita fiksi begini
Ceritanya menarik sekali, Kak. Semoga para pengidap kanker dan keluarganya senantiasa diberi kekuatan ya, Kak :)
BalasHapusSedih sama ceritanya. Menurut ku orang tua Nadia dan Nadianya sendiri samasama hebat. Meskipun endingnya sedih, tapi pesan yang ingin disampaikan mudah dicerna hehehe.
BalasHapusMenarik isi ceritanya, saya suka..
BalasHapus