JANGAN JADI SETENGAH MANUSIA

Manusia. Memang adakalanya berbuat baik, juga berbuat buruk. Namanya juga manusia, tempatnya berbuat salah dan lupa. Tapi kalau terus menerus berbuat salah, kapan akan menjadi orang baik? Pertanyaan itu terus saja muncul dalam benak. Menjadi manusia sepenuhnya memang sulit, tapi bukan berarti mustahil tercipta. Dinamika kehidupan memang selalu saja ada. Terkadang berada di atas, terkadang juga di bawah. Namun bagaimana dengan manusia yang ternyata hanya setengah manusia? Anda pasti bertanya-tanya, setengah manusia itu apa dan seperti apa?
Pernahkah Anda mendengar istilah ‘munafik’? tentu pernah, bahkan sering mendegar kata demikian. Dan tentu Anda juga tau siapa sajakah yang disebut manusia munafik. Dalam sebuah  hadits disebutkan ciri-ciri orang munafik ada tiga. Jika berbicara ia berbohong, jika dipercaya ia khianat dan jika berjanji ia ingkar. Munafik, adalah mereka yang berusaha berpenampilan baik di depan banyak orang dan bermaksiat ketika tidak ada satu manusia pun yang melihatnya. Padahal, dimanapun manusia bersembunyi, Allah SWT. akan selalu mengetahuinya, walau hanya tersirat di dalam hati.
Beriring dengan perkembangan teknologi dunia yang semakin canggih dan peradaban manusia yang semakin modern dan berkelas, mengantarkan manusia semakin mudah melakukan segala yang diinginkan. Keinginan yang bisa jadi positif, maupun negatif. Budaya barat pun sudah banyak merusak pola pikir manusia di seluruh belahan dunia. Alur pikir yang hanya bernafsu mengikuti trendi dan gengsi, bukan berusaha menjaga martabat agama dan budaya. Bahkan yang mirisnya lagi, lulusan pendidikan pesantren yang selalu menjaga budaya islam pun tidak menjadi jaminan seseorang memiliki akhlak baik dan tak mudah dipengaruhi huru-hara globalisasi.

Saya berbicara demikian karena saya adalah salah satu remaja lulusan pesantren tahun kemarin, 2017. Masih terbilang sangat baru, tapi perubahan moral dan akhlak banyak terjadi dalam diri saya. Perubahan yang sangat sederhana sekali dalam keseharian adalah menunda waktu salat. Jikalau ketika menjadi santri selalu salat lima waktu tepat waktu dan berjama’ah, namun kali ini melalaikan salat sudah menjadi suatu hal biasa. Dulu ketika menjadi santri, saya sering menghafal Alquran dan selalu membacanya, namun kini sudah mulai terabaikan. Semua seakan teralihkan dengan kesibukan dunia yang tak pernah bertemu titik akhirnya. Itu hanya hal sederhana saja, tapi sangat berpengaruh bagi pembentukan akhlak dan moral. Tidak percaya? Ketika masih menetap di lingkungan pesantren, saya selalu menjaga tawa untuk tidak terbahak-bahak, makan seadanya dan tidak terlalu terpukau untuk membeli barang-barang trendi zaman now, pakaian yang dikenakan pun sangat islami dan tertutup. Tapi sekarang? Jauh berbeda dari itu, saya sering tertawa dengan terbahak-bahak, banyak bicara, terlalu banyak makan sampai tidak mengenal rasa kenyang, dan selalu terpukau untuk membeli barang-barang trendi masa kini. Memang terlihat sepele, tapi memang itulah yang terjadi. Dan mirisnya, bukan hanya saya yang merasakan. Tapi satu juta, dua juta, bahkan lebih dari itu mereka yang lulusan pesantren merasakan hal serupa. Tapi hal ini sebagian besar hanyalah merusak diri sendiri, tidak terlalu besar merusak kepribadian orang lain. Lantas, bagaimana dengan mereka yang berpura-pura berbuat baik di depan banyak orang, tapi nyatanya merusak orang lain, bahkan merusak masa depan orang lain dengan mudahnya? Inilah yang berbahaya, bermuka topeng dan meracuni orang-orang sekitar.

Ada sebuah kisah nyata. Sebuah kisah yang sangat pilu dan mengenaskan. Kenyataan pahit yang sebenarnya sangat mengoyak hati. Ingin tak mau mengetahui, tapi memang inilah yang terjadi. Sebut saja Ahmad (nama samaran), seorang lelaki lulusan pesantren yang kini mengajar dan mengabdikan dirinya di sebuah pondok pesantren lain di pulau Jawa. Cerita masa lalu secara perlahan terus merusak syaraf-syaraf otaknya. Cerita masa lalu yang sudah mengenal seksual sebelum masuk di dunia pesantren, membuat masa depannya kini seperti di ujung tombak. Ternyata, pendidikan yang ia dapat selama di pesantren tidak mampu menjadikannya menjadi manusia seutuhnya. Bahkan menjadikannya seperti manusia bertopeng. Saya mengistilahkannya dengan ‘setengah manusia’. Hati saya begejolak menahan amarah, sebab ia tak hanya merusak dirinya, melainkan orang-orang sekitar, terutama wanita. Tak hanya satu wanita, melainkan lebih dari itu. Merusak perlahan dengan cara yang sangat agamis, namun sangat menusuk. Bagaimana tidak? Wanita-wanita yang ia rusak bukanlah wanita malam seperti pelacur yang dengan senang hati menyerahkan dirinya, melainkan wanita suci dan selalu menjaga hafalan dan agama. Memang cinta membutakan segalanya. Ketika wanita sudah jatuh cinta, apapun akan dilakukannya. Termasuk kehormatan dirinya. Lantas, setelah itu ia tinggalkan begitu saja dan beralih ke wanita lain yang belum disentuhnya. Begitu ironi, tapi inilah nyatanya. Kesehariannya selalu bergaul dengan para santri, selalu menunjukkan dirinya berbuat baik di depan banyak orang. Tapi ternyata, hatinya jauh lebih berbisa dari seekor ular kobra sekalipun. Pakaian peci dan sarungnya hanyalah pembungkus kesalahannya. Dan anehnya, banyak orang yang tertipu demikian.

Tapi bukan berarti kita terus mengusik kesalahan orang lain. Menilai orang lain itu juga perlu, sebab untuk perbaiki hati dengan belajar dari pengalaman dan kesalahan orang lain. Namun, berbicara terus-menerus akan aib orang lain pun juga tidak boleh. Bahkan ditentang keras oleh agama. Jadikanlah hati kita seperti cermin. Selalu menata hati dan mengingat kembali kesalahan dan dosa apa saja yang telah kita lakukan hari ini. Abaikan kelalaian orang lain, fokuskan terhadap kekurangan diri sendiri. Itulah yang terpenting.

Teman-teman sekalian, Inilah hal-hal sederhana dan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebuah peristiwa yang jarang kita sadari selama ini. Menjadi setengah manusia, ternyata sangatlah buruk dan berbahaya. Jadi, ubah diri kita, perbaiki hati kita, tata kembali budi pekerti kita demi meniti masa depan nantinya menjadi manusia sesungguhnya, bukan manusia yang setengah manusia.

Komentar

Postingan Populer